MERANTAU DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU
PENGERTIAN MERANTAU
Merantau adalah perginya seseorang dari tempat asal
dimana ia tumbuh besar ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari
pengalaman. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang merantau, diantara karena
faktor ekonomi, faktor alam, faktor pendidikan, bahkan ada juga karena faktor
tradisi atau budaya. Namun faktor paling dominan yang me-nyebabkan kebanyakan
orang untuk merantau adalah karena permasalahan ekonomi. Dalam hal ini merantau
dianggap memberikan harapan untuk kehidupan yang lebih baik di tempat yang
dituju.
Namun ada suatu suku dimana penduduknya merantau bukan
hanya disebabkan karena faktor ekonomi atau permasalahan ekonomi saja, tetapi
juga karena tradisi atau kebudayaan yang masih dipercaya dan dilakukan hingga
sekarang, yaitu suku Minangkabau. Suku Minangkabau mendiami hampir seluruh
wilayah provinsi Sumatera Barat dengan penduduknya yang sudah tersebar ke
seluruh wilayah di Indonesia. Seperti di wilayah lainnya, adat dan tradisi
Minangkabau telah banyak mengalami perubahan karena dianggap tidak dapat
memenuhi tuntutan dan perkembangan zaman. Tetapi ada satu tradisi yang hingga
sekarang tetap dipercaya dan dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau, yaitu
tradisi merantau.
Merantau dalam budaya Minangkabau merupakan keharusan,
khususnya kepada para pemuda jika ia ingin dipandang dewasa dalam masyarakat.
Masyarakat Minang menganggap bahwa laki-laki remaja hingga pemuda yang belum
menikah dan tidak pergi merantau sebagai orang-orang yang penakut dan tidak
bisa hidup mandiri. Dikatakan penakut karena tidak mau atau tidak berani
mencoba kehidupan baru di luar daerah Minang. Sedangkan tidak bisa hidup
mandiri disebabkan karena ketergantungan terhadap saudara atau sanak keluarga
di daerah Minang.
FAKTOR YANG
MENYEBABKAN ORANG MINANG MERANTAU
Merantau yang dilakukan orang Minangkabau tentu disebabkan
karena hal-hal ter-tentu. Adapun penyebab tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Faktor Sistem Matrilineal
Merantau dalam tradisi Minangkabau dipercaya timbul
karena adanya sistem mat-rilineal. Sistem ini masih dipertahankan hingga
sekarang. Sistem matrilineal Minangkabau hanya memberikan harta pusaka atau hak
waris kepada pihak perempuan, sedangkan pihak laki-laki hanya memiliki hak yang
kecil. Hal inilah yang menyebabkan kaum pria Minang memilih untuk merantau. Namun
perempuan minang pada masa sekarang juga telah banyak pergi merantau.
2.
Faktor Budaya
Pepatah Minang mengatakan “Karatau tumbuah dihulu, babuah babungo alun, marantau bujang
dahulu, dirumah baguno alun”. Pepatah ini menegaskan bahwa anak
laki-laki yang masih bujangan atau belum menikah tidak mempunyai peranan atau
posisi dalam adat. Keputusan dalam keluargapun tidak bisa diputuskan oleh anak
tersebut. Hal ini dikarenakan anak dianggap belum memiliki pengalaman. Oleh
sebab itu, si anak harus mencari pengalaman dengan cara pergi merantau. Para
orang tua sebenarnya menyadari hal ini. Terbukti dengan adanya ajakan dan
anjuran orang tua kepada anak remaja Minangkabau untuk pergi merantau. Bahkan
ada orang tua yang memaksa agar anak remajanya merantau sejauh-jauhnya dari
wilayah Minangkabau sebab ada pandangan bahwa semakin jauh tempat perantauan,
maka pengalaman hidup yang didapatkan juga semakin banyak sehingga si anak
semakin berguna dalam masyarakat ketika ia kembali.
3.
Faktor Ekonomi
Faktor lainnya adalah karena permasalahan ekonomi.
Sebagaimana diketahui bahwa jumlah penduduk selalu bertambah dan tidak diiringi
dengan penambahan lapangan kerja. Hal tersebut juga terjadi di Minangkabau. Di
Minangkabau, kaum laki-laki akan merasa sangat malu jika tidak bisa bekerja.
Oleh sebab itu, agar tidak di sebut sebagai pemalas, maka kebanyakan kaum
laki-laki yang masih bujangan bekerja membantu orang tua. Umumnya masyarakat
Minangkabau berprofesi sebagai petani dan/atau pedagang. Hasil dari tani
bia-sanya dijual sendiri ke pasar.
Seiiring meningkatnya kebutuhan, para kaum laki-laki
merasa bahwa mereka hanya menambah beban orang tua. Membantu bekerja di kebun
atau di sawah tidak lagi bisa men-cukupi kebutuhan mereka, apalagi membantu
ekonomi keluarga. Lalu, kaum laki-laki akan berpikir untuk mencari pekerjaan
baru agar tidak terus-terusan bergantung pada orang tua. awalnya pekerjaan yang
dicari biasanya berkisar di daerah tempat tinggal. Tetapi, karena per-masalahan
pertambahan penduduk dan lapangan pekerjaan, maka merantau merupakan solusi
satu-satunya. Dengan merantau, diyakini bahwa permasalahn ekonomi bisa
teratasi.
4.
Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang
sangat penting dalam masyarakat Minangkabau, ter-utama pendidikan Agama Islam.
Adanya hukum ”adat basandi sara’, sara’ basandi kita-bullah mempertegas
bahwa masyarakat Minang harus menguasai pengetahuan dalam Islam. Namun
keterbatasan tingkat pendidikan yang ada di daerah Minang, memaksa orang-orang
yang ingin menuntut ilmu untuk pergi keluar dari wilayah Minang.
5.
Malanjutkan Kesuksesan Para Perantau Sebelumnya
Adanya cerita orang-orang terdahulu yang sukses dalam
perantauan merupakan moti-vasi tersendiri yang mendorong terjadinya tradisi
merantau di dalam masyarakat Minang. Se-but saja misalnya kesuksesan Ahmad
Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam Masjid Al-Haram. Muncul kebanggan
tersendiri pada setiap masyarakat Minang khususnya pemuda untuk meneruskan
kesuksesan yang pernah di raih pendahulunya tersebut.
Dari uraian diatas, diketahui bahwa konsep merantau
bagi masyarakat Minangkabau berbeda dengan merantau yang dilakukan
masyarakat daerah lainnya. Di daerah lain, faktor utama yang meyebabkan
seseorang merantau adalah karena permasalahan ekonomi. Pada masyarakat Minang,
merantau bukan hanya semata-mata untuk memperoleh kekayaan, atau memperoleh
kehidupan yang lebih baik dibidang ekonomi saja, tetapi yang diutamakan
masyarakat Minang dalam merantau adalah penemuan jati diri, pengalaman dan
nilai-nilai hidup yang tidak didapatkan di daerah asal. Jadi ketika kembali ke
tanah kelahiran, si pe-rantau benar-benar telah siap secara mental dan sikap
untuk hidup bersama masyarakat.
FILOSOFI DAN TUJUAN
Sebagian besar dari tokoh tokoh Indonesia dari Minang
yang berpengaruh adalah produk "perantauan". Bangsa Indonesia tentu
tak akan pernah lupa dengan jasa jasa para pejuang dan pahlawan negara ini yang
berasal dari Minangkabau seperti Tan Malaka, Mohammad hatta, dan Sjahrir yang
dianggap tokoh Indonesia paling penting bersama Soekarno dan Jendral Soedirman dalam perjuangan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Selain ketiga tokoh tersebut tentu masih banyak tokoh produk
perantauan lainnya seperti Mohammad Natsir yang
pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se Dunia dan perdana mentri Indonesia, Mohammad Yamin yang
jadi pelopor Sumpah Pemuda pada
tahun 1928, juga Agus Salim yang
jadi diplomat ulung, bahkan seorang presiden yang di(ter)lupakan Assat.
Di bidang agama, Minang perantauan juga melahirkan ulama
ulama besar seperti Ahmad Kathib Al-Minangkabaui,
orang non Arab pertama yang jadi Imam Besar di Masjidil Haram Mekkah yang juga
jadi guru bagi banyak ulama besar di nusantara. Juga ada Hamka yang dihormati dan dikagumi tidak
hanya oleh umat muslim Indonesia tapi juga umat muslim di negara negara Asia
Tenggara lainnya. Di bidang sastra juga lahir dua orang pionir yaitu Chairil Anwar pelopor Angkatan '45 dan Sultan Takdir Alisjahbana pelopor Pujanggan Baru, sementara Usmar Ismail dikemudian
hari digelari Bapak Film Indonesia, dan banyak lagi yang lainnya.
Semua tokoh tokoh besar tersebut adalah produk
"perantauan". Pencapaian yang tinggi oleh perantau-perantau itu
akhirnya menimbulkan pertanyaan, apakah tujuan dan filosofi orang orang Minang
dalam "merantau". Tidak mudah memahami tujuan dan filosofi itu
melalui artikel yang pendek ini. Secara sederhana bisa direnungkan makna dari
sebuah pepatah bijak Minangkabau yaitu Iduik bajaso, mati bapusako (Hidup berjasa, mati berpusaka) yang
bermakna selagi hidup harus memberi jasa agar setelah mati meninggalkan pusaka
(warisan nama baik) yang bisa dikenang sepanjang masa. Untuk memahami lebih
dalam lagi filosofi dan tujuan "merantau" orang Minang perlu dibaca
karya dari antropolog dan sosiolog ternama Moctar Naim dalam
bukunya "Merantau".
Orang orang Minangkabau merantau dengan hati dan pikiran
terbuka serta imajinasi yang tinggi. Antropolog Mochtar Naim berpendapat bahwa
disamping merantau dan berdagang, pola hidup masyarakat Minangkabau yang sangat
menonjol adalah suka berpikir dan menelaah. Kebiasaan positif
tersebut pada akhirnya menghasilkan para pemikir dan tokoh tokoh berpengaruh di
nusantara ini. Mereka adalah manusia manusia yang tak cepat berpuas diri,
mereka akan menggapai apapun setinggi mungkin. Kemampuan dan keberanian
menjelajah dunia lain yang berbeda dengan kampung halaman mereka telah
menjadikan kaum itu sebagai perantau ulung yang tercatat dalam sejarah bangsa
bangsa nusantara. Salah satu falsafah hidup mereka yang paling penting yaitu Alam Takambang Jadi Guru ikut
berperan dalam kemampuan mereka beradaptasi dengan alam yang berbeda dengan
alam Minangkabau, kampung halaman yang tak pernah mereka lupakan sejauh apapun
mereka merantau.
Kebiasaan merantau juga berfungsi sebagai suatu
perjalanan spiritual dan batu ujian bagi kaum lelaki Minangkabau dalam
menjalani kehidupan. Pada masa lalu kaum lelaki Minangkabau yang biasanya telah
menguasai ilmu beladirisilat untuk
menjaga diri, berangkat pergi merantau dari kampung ketempat yang jauh hanya
berbekal seadanya, bahkan tak jarang tanpa bekal sama sekali. Kehidupan yang
keras, jauh dari sanak saudara dan kampung halaman diharapkan menjadi cobaan
untuk menempa jiwa, kegigihan, dan keuletan si lelaki Minang dalam meningkatkan
derajat kehidupannya.
ADAPTASI DAN
PERUBAHAN
Adalah menarik perhatian, bahwa pada umumnya para
perantau Minang ini mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat serta
kebudayaan daerah rantaunya, yang antara lain terlihat pada hampir tidak
pernahnya terjadi konflik dengan masyarakat tempatan yang menjadi tuan
rumahnya. Mungkin sekali hal ini disebabkan oleh pepatah bijak Minangkabau yang
berbunyi: Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang yang bermakna menghargai kultur dan
budaya setempat tanpa harus kehilangan kultur dan budaya sendiri.
Suatu masalah yang belum banyak dikaji tentang para
perantau Minang masa kini adalah mengenai perubahan sistem nilai serta
kehidupan sosial mereka. Secara umum terdapat kesan bahwa para perantau Minang
masih tetap menganut agama Islam dengan taat, akan tetapi dalam hubungan
sosialnya sudah mulai kurang menggunakan warisan adat tradisional seperti
"buah paruik", "kaum" atau "suku", dan lebih
banyak berhimpun dalam satuan daerah asal.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar